Baru-baru ini gua nonton ulang The Wailing (2016). Nggak sih, bukan karena nggak ada tontonan, tapi gara-gara abis nonton Exhuma (2024), horor Korea terbaru yang juga main di ranah klenik. Ini menarik banget buat gua karena jarang-jarang nemu horor yang bahas mistis di luar konteks Indonesia. Sekalian nostalgia dan mau liat lagi apakah The Wailing masih seheboh dulu saat pertama kali gua tonton.
Nah, The Wailing bercerita tentang Jong-goo, seorang polisi di desa kecil yang tiba-tiba dihadapkan sama kasus kematian misterius. Jadi, ada keluarga yang meninggal mengenaskan—tubuh mereka penuh luka dan darah. Lebih anehnya, pelaku yang ditemukan di TKP juga dalam kondisi sekarat karena penyakit misterius. Awalnya, mereka mengira ini semua gara-gara halusinasi atau penyakit mental. Tapi semakin Jong-goo dan timnya mendalami kasus, semakin absurd dan menyeramkan fakta-fakta yang mereka temukan.
Masalah makin runyam saat anak perempuan Jong-goo ikut kena penyakit misterius itu. Situasi makin mencekam, dan Jong-goo nggak punya pilihan selain meminta bantuan dukun serta berurusan dengan entitas supernatural. Ini jadi bagian film yang paling bikin gua greget—bagaimana seorang ayah terpaksa masuk ke wilayah mistis demi menyelamatkan anaknya, meski dia sebenarnya nggak paham sama sekali.
Dari segi karakter, interaksi antar karakternya menarik tapi cukup aneh buat gua. Salah satu momen absurd adalah ketika ada adegan seorang anak kecil memergoki orang tuanya berhubungan badan dan... ya, dia santai banget! Anaknya kayak bilang, “Nggak usah dipikirin, biasa aja,” seolah itu hal sepele. Di budaya kita, kan, hal kayak gini jelas taboo, ya? Apalagi kebiasaan orang Korea di film ini yang sering teriak-teriak atau main “keplak” seenaknya. Gua jadi mikir, ini tuh beneran dramatisasi film atau emang begitu cara mereka berinteraksi sehari-hari?
Sementara itu, di Exhuma (2024), yang notabene juga film Korea, interaksi semacam ini minim banget. Jadi gua malah makin bingung—apakah The Wailing memang dibuat over-the-top demi efek dramatis, atau ada sisi budaya Korea yang gua belum pahami sepenuhnya?
Soal visual, gua harus kasih jempol. Pemandangan desa dan alam di film ini bener-bener indah, tapi di saat yang sama terasa sunyi dan menegangkan. Efek supernaturalnya juga kebanyakan menggunakan efek praktis alih-alih CGI. Ini salah satu alasan kenapa The Wailing masih terasa "mentah" dan menyeramkan. Luka-luka, darah, dan penyakit digambarkan dengan detail yang bikin perut mual, tapi justru di situ letak keunggulannya—realistis banget.
Walaupun gua masih suka sama film ini, beberapa aspek tetep terasa ganjil, terutama soal kebiasaan kasar dan interaksi yang nggak selalu gua temuin di film Korea lain. Karakter yang suka teriak, maki-maki, dan pukul-pukul itu bikin gua sedikit ragu. Apa bener begini cara orang Korea sehari-hari, atau ini cuma dibuat berlebihan demi kesan dramatis? Sekian deh, mari beralih ke film lain: Review Film Arcadian (2024) - Keseruan Melawan Monster Dan Menjadi Soerang Ayah