Pas pertama kali gua nonton Woman of the Hour (2023) di Netflix, gua beneran nggak nyangka ini bakal tentang kasus true-crime. Awalnya, gua kira ini film drama biasa soal kehidupan seorang wanita di dunia hiburan—kayak perjalanan aktris yang kerja keras cari peran atau semacamnya. Tapi ternyata, ini cerita tentang Rodney Alcala, seorang pembunuh berantai sadis. Plot twist banget. Jujur aja, gua malah kaget sama informasi soal Alcala yang jadi salah satu peserta di acara kencan terkenal, The Dating Game.
Nah, sedikit aneh juga ya soal rilisnya. Secara teknis, ini film tahun 2023 karena debut di Toronto International Film Festival, tapi baru resmi masuk Netflix 2024. Biasanya Netflix main di ranah film komersial atau blockbuster, tapi kali ini beda—mereka bawa proyek yang punya feel festival film. Agak nggak biasa sih buat platform streaming. Tapi ya, bagus juga sih karena ceritanya memang punya bobot, nggak sekadar hiburan ringan.
Cerita film ini fokus pada momen ketika Sheryl Bradshaw, seorang aktris pemula yang haus peran, ikutan acara The Dating Game. Di situ dia tanpa sadar ketemu sama Rodney Alcala—yang bukan cuma kontestan biasa tapi, ternyata, seorang pembunuh berantai. Gua suka banget gimana film ini nggak terlalu eksplisit soal kekerasan tapi lebih main di ketegangan. Bukannya format dokumenter yang sering kita lihat di film true-crime, film ini diolah jadi thriller yang lebih emosional. Dari perspektif korban, kita bisa ikut merasakan ketegangan mereka, terutama saat berinteraksi langsung dengan Rodney yang tampil charming tapi creepy di saat bersamaan.
Visualnya juga juara. Sutradaranya pinter banget milih angle kamera buat nge-build suasana yang bikin jantung was-was. Banyak adegan yang diambil dengan sudut lebar dan jauh, menunjukkan tempat-tempat sunyi dan terisolasi. Kayak ada pesan tersirat, "Di sini nggak ada yang bisa nolong lo." Ini bikin gua makin merasa terjebak dalam ketegangan, apalagi pas korban mulai sadar ada yang nggak beres.
Tapi ya, nggak ada film sempurna. Salah satu keluhan gua tentang Woman of the Hour (2023) adalah cara film ini mainin alur maju-mundur. Di awal, sih, oke karena masih jelas dibedain tahun dan latarnya. Tapi makin lama, gua jadi bingung sendiri—ini kejadian tahun berapa? Timeline-nya kayak campur aduk dan gua harus mikir keras buat nyambungin potongan-potongan cerita. Ditambah lagi, ending-nya juga agak antiklimaks. Bukannya nutup dengan adegan dramatis, mereka malah kasih teks penjelasan soal nasib korban dan pelaku. Gua sih paham maksudnya biar lebih informatif, tapi jadinya terasa kayak buru-buru ditutup. Kurang greget, gitu. Jadinya, rating gua:
Film ini kayaknya cocok buat kalian yang suka true-crime dengan pendekatan yang beda. Nggak cuma sekadar cerita tentang pembunuhan berantai, Woman of the Hour (2023) ngajarin kita buat lebih peka terhadap situasi yang tampaknya biasa tapi bisa jadi mengancam. Dan ada film yang bikin ngeri lain nih: Review Film Longlegs (2024) - Lamban dan Menakutkan