Gua lagi suka banget nonton horor klenik—mulai dari Exhuma (2024) sampai The Wailing (2016)—karena ada elemen mistis yang bikin beda. Jadi pas nemu It Lives Inside (2023), gua langsung penasaran karena film ini mengangkat mitologi India, tema yang jarang-jarang kita lihat di genre horor barat. Ceritanya ngikutin seorang gadis keturunan India, Samidha, atau biasa dipanggil Sam, yang pindah ke Amerika bareng keluarganya. Di sana, dia punya sahabat sesama keturunan India, Tamira, tapi hubungan mereka mulai renggang karena Sam mulai menjauh demi bisa diterima di lingkungan barunya.
Ketegangan mulai terasa waktu Tamira balik ke sekolah dalam kondisi yang nggak biasa—wajahnya kusam, tampak lelah, dan bawa toples aneh. Dia minta tolong ke Sam buat menjaga toples itu, tapi Sam yang kesel malah nepisnya. Tamira ketakutan dan langsung pergi, dan sejak saat itu, dia hilang. Tapi masalah belum selesai di situ, karena sekarang Sam mulai ngalamin kejadian-kejadian aneh. Dari sinilah misteri soal toples dan mitos kuno yang dibawanya mulai terkuak.
Hal yang gua suka banget dari It Lives Inside adalah ide ceritanya yang unik. Cerita ini mengangkat mitologi India, khususnya tentang makhluk jin yang katanya bisa bikin korbannya gila dengan cara mengganggu mereka secara bertubi-tubi. Ada nuansa berbeda di sini yang jarang ditemui, dan gua harus apresiasi itu. Sutradaranya berusaha nunjukin tradisi dan mitos India, dan ini jadi poin menarik buat gua.
Tapi nggak semua berjalan mulus. Menurut gua, set lokasi di Amerika bikin aura mistis dari budaya India ini agak kurang terasa autentik. Beberapa tradisi India memang ditampilkan buat bikin suasana yang ‘India banget,’ tapi kayak ada yang kurang. Kalau dibandingin dengan Incantation (2022)—film horor dari Taiwan yang juga eksplorasi mitos lokal—It Lives Inside nggak sampai se-impactful itu. Incantation berhasil banget menggabungkan mitos dan setting lokal yang bikin ceritanya mencekam dan otentik.
Satu lagi kekurangan yang gua rasain di sini adalah karakterisasi dan interaksi antarkarakter yang kurang emosional. Relasi antara Sam dan Tamira, misalnya, nggak terlalu dikembangkan dengan baik. Jadi, pas ada momen-momen yang seharusnya emosional—kayak waktu Sam menyadari Tamira hilang atau saat mereka berantem tentang pertemanan mereka—efeknya nggak terasa dalam. It Lives Inside kayaknya kelewat fokus pada horor supernaturalnya sampai lupa bikin hubungan antarkarakternya lebih kuat.
Usaha yang patut diapresiasi untuk mengangkat elemen mistis dari budaya yang kurang terekspos di perfilman horor Hollywood. Gua rekomendasikan buat nonton, bukan yang terbaik tapi sangat menarik dan seru. Dan ada juga: Review Film The Wailing (2016) - Masih Berkesan Dan Bagus Seperti Pertama Kali Nonton