Gua salut banget sama Korea. Mereka kayak nggak takut eksperimen di berbagai genre—dari drama, aksi, komedi, sampai horor. Exhuma (2024) jadi bukti kuat kalau horor Korea nggak main-main. Gua kagum sama gimana film ini ngangkat profesi dukun dan bikin itu terasa menakutkan sekaligus keren. Cuma ya, gua jadi bertanya-tanya, kenapa Indonesia yang punya budaya mistis serupa malah sering stuck di film horor yang ya... gitu-gitu aja. Kadang malah ketemu film yang bikin gua mikir, “Ini seriusan film? Rilis di bioskop?”
Cerita Exhuma berpusat di Korea, di mana Hwa-rim, seorang dukun wanita, membantu orang-orang ngadepin masalah gaib. Dia nggak sendirian, ada Bong-gil yang selalu nemenin dia. Ada Sang-deok, seorang ahli fengsui yang spesialis nyari lokasi pemakaman terbaik. Sang-deok sendiri bekerja bareng Yeong-geun. Suatu hari, keluarga kaya Korea yang tinggal di Amerika manggil Hwa-rim untuk konsultasi soal kutukan yang mengganggu keluarga mereka. Sejak zaman kakek moyangnya, anak sulung di keluarga itu selalu apes dan bahkan meninggal muda. Yang bikin tambah gawat, kutukan ini udah mulai ngincar bayi baru lahir mereka.
Setelah berkonsultasi, Hwa-rim akhirnya balik ke Korea untuk memulai ritual relokasi makam leluhur keluarga tersebut dan melepaskan kutukannya. Dia minta bantuan Sang-deok buat nemuin lokasi baru, tapi pas mereka sampai di makam lama, mereka nemuin sesuatu yang mengerikan—ternyata tanah pemakamannya udah kena kutuk selama hampir 100 tahun. Awalnya, Sang-deok ogah bantu, tapi karena iba sama bayi nggak berdosa yang jadi korban, dia akhirnya setuju. Begitu relokasi dimulai, kejadian-kejadian gelap dan menyeramkan mulai bermunculan.
Yang gua suka dari film ini adalah cara penceritaannya yang rapih dan terstruktur. Dengan durasi 2 jam, film ini dibagi jadi beberapa bab, dan setiap bab berhasil nyampein informasi dengan jelas. Mulai dari latar belakang karakter, hubungan di antara mereka, penjelasan tentang dukun dan ilmu mistis Korea, sampai konflik dan plotnya—semuanya diolah dengan apik dan bikin gua tetap engaged sepanjang film.
Akting para pemain juga juara. Biasanya gua suka merasa akting di film Korea agak berlebihan, tapi kali ini nggak. Semua pemain tampil pas—emosi mereka terasa natural dan benar-benar nyatu sama karakter yang mereka perankan.
Film ini bikin gua inget sama Incantation (2022). Sama-sama bawa tema dukun, tapi dengan pendekatan berbeda. Incantation lebih fokus ke mistis dan terror found-footage, sementara Exhuma lebih kental dengan unsur kemanusiaan, sejarah, dan drama. Ada juga bumbu lore seputar hubungan Korea dan Jepang di masa perang, yang bikin ceritanya tambah menarik. Ratiing gua:
Cuma ada satu hal yang agak mengganjal buat gua: sound effect yang dipakai di beberapa adegan terasa nggak masuk akal. Di satu momen, ada adegan di mana sosok hantu berubah jadi api dan terbang, dan tiba-tiba ada musik dari instrumen agama Buddha, yaitu Mu Yi. Aneh banget sih, karena sepanjang film nggak ada satu pun karakter yang pakai instrumen itu. Tapi ya, walaupun nggak masuk akal, gua harus akui efek ini efektif banget nambah kesan mistis dan bikin suasana makin tegang. Gass, nonton Exhuma, atau nonton ini boleh juga: Review Film Code 8 (2019) - Perspektif Menarik Dari Orang Dengan Kekuatan Super